Sabtu, April 19, 2008

tentang remaja(renungan bersama)


Ketika Seks Menjadi Simbol Remaja

Perhatikanlah remaja saat ini. Tanyalah pendapat mereka mengenai seks. Pasti remaja tidak akan malu lagi untuk membicarakannya. Perbincangan tentang seks sering dibicarakan para remaja dengan remaja lainnya. Pembicaraan seks bukanlah lagi hal tabu untuk mereka.
Begitu parahkah keadaan remaja saat ini?
Coba lihat tayangan film-film yang berlabel "17+" di layar televisi, kini bebas disimak oleh remaja berusia di bawah 17 tahun. Bahkan, liputan-liputan mengenai prostitusi ternyata berisi mengenai para remaja yang berprofesi menjual diri dan tak pelak free sex yang dianut remaja menjadi sumber berita yang layak dikemas secara menarik.
Ternyata free sex yang sekarang berkembang di kalangan remaja memang bukan hanya milik remaja yang memang mengais untung dari profesi jual dirinya , tapi dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal mereka pun melakukan seks bebas dengan lelaki yang disukainya. Cinta menjadi salah satu alasan yang paling utama dikemukakan oleh remaja.
Ini merupakan sebuah kenyataan yang memang harus kita terima, apalagi banyak penelitian yang sudah dilakukan dan nyaris mengambil kesimpulan yang sama bahwa jumlah remaja yang melakukan seks bebas semakin tinggi setiap tahunnya. Setiap tahun sejak terjadinya krisis moneter, sekitar 150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi pekerja seks. Sementara itu, menurut seorang ahli, setengah dari pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun, sedangkan 50.000 di antaranya belum mencapai usia 16 tahun.
Terlepas apa pun alasannya, namun seks bebas merupakan aktivitas yang mengandung risiko sangat tinggi. Berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seks bakal tertera penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, sampai terkena virus HIV.
Seks bebas pun bukan satu hal dengan mudah dapat ditinggalkan karena perlu usaha dan niat yang sangat keras untuk meninggalkan aktivitas yang dianggap paling mudah mendapatkan uang yang sangat dibutuhkannya.
Istilah seksualitas mempunyai arti yang sangat luas. Di antaranya adalah dimensi biologis, psikologis, sosial, perilaku, dan kultural. Dilihat dari sisi biologis, seksualitas berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana menjaga kesehatan, memfungsikan dengan optimal secara biologis, baik sebagai alat reproduksi, alat rekreasi, dan dorongan seksual.
Satu lagi yang penting bagaimana supaya remaja dapat keluar dari belenggu gaya pergaulan yang salah adalah dengan dukungan keluarga untuk memantau perkembangan remajanya dan menjadi sahabat serta tempat yang bisa dijadikan berbagai segala hal.


Hubungan Intim Saat Remaja? Penting Ga Sih?

Sekarang ini seringkali ditemukan kasus “MBA”, Married By Accident bagi pasangan-pasangan yang sedang menjalin kasih. Apa sih yang menyebabkan setiap pasangan mengalami hal tersebut? Wah.. banyak banget jawabannya.
Ada yang bilang itu terjadi karena tidak disengaja, tetapi ada juga yang bilang kalau hal itu terjadi karena keinginan semata, selain itu ada yang bilang kalau itu terjadi karena paksaan. . Uhm.. sebenarnya ga ada yang bisa disalahin apalagi kalau kasus itu terjadi karena keinginan keduanya.
Tetapi, pernah ga sih kita berpikir kalau berhubungan intim itu bukan untuk dilakukan pada saat masa penjajakan dengan pasangan kita, melainkan dilakukan pada saatnya nanti? Mungkin banyak orang yang bilang kalau hal itu biasa aja, tetapi buat sebagian orang berpendapat kalau berhubungan intim di luar nikah itu “Gag Banget” apalagi kalau kita masih sekolah.
Beberapa waktu lalu ada kasus seperti ini. Seorang gadis berusia 16 tahun melahirkan seorang bayi yang beratnya tidak seperti bayi biasanya. Anggap saja gadis ini bernama Ivon dan sang pacar bernama Wahyu. Mereka berhubungan intim, bisa dibilang mereka berhubungan intim karena unsur ketidaksengajaan. Mengapa demikian? Pertama, karena Ivon tidak sadar pada saat berhubungan, sebelum berhubungan ia dicekoki beberapa gelas alkohol.
Dari kasus di atas, kita dapat belajar bahwa menjaga diri itu penting sekali apalagi kalau kita perempuan. Dan penting atau gak-nya berhubungan intim di usia-usia dini seperti kita ini, tergantung pada keinginan yang ada dari diri kita. Tindakan baik atau buruk yang kita lakukan itu akan mempengaruhi kehidupan kita mendatang. Jadi, jangan coba-coba melakukan hal yang tidak pantas pada usia remaja kita saat ini.

Homo dan Lesbian, Apakah Dosa?

Sejak bersekolah dari SD sampai SMA di sekolah yang sama, sering sekali saya dicekoki nasihat, 'Kalau pacaran itu yang 'sehat', jangan sampai berbuat yang nggak-nggak." Bukannya saya mau protes soal aturan pacaran yang sehat, tapi nasihat yang sering ditambahi kalimat-kalimat lain yang melarang ini jadi berdampak agak negatif, paling tidak menurut pandangan saya.
Kalau di sekolah ada siswa/i yang ke mana-mana berdua dengan temannya yang sesama jenis, misalnya, nantinya akan muncul komentar-komentar, "Ih kalian lesbi ya?" "Kayak homo," dan masih banyak lagi. Padahal bisa saja kan, kalau mereka memang tertarik pada satu hal, misalnya suka baca komik yang sama, dan anak-anak lain ternyata tidak suka? Otomatis mereka jadi 'nempel' karena memang cocok. Tapi kalau dua orang berlainan 'jenis' terlihat akrab, kemana-mana juga berdua, sepertinya hampir tidak ada celetuk, "Eh kalian berdua pacaran ya?" Sepertinya anak-anak jaman sekarang lebih tertarik pada orang-orang homo atau lesbian.
Kalau ada cerita, misalnya di Alkitab, tentang Yudas yang menyerahkan Yesus dengan cara menciumnya, atau Paus yang menenangkan raja juga dengan cara menciumnya, langsung terdengar orang-orang mencap 'homo'. Padahal bukankah ciuman menandakan cinta, dan cinta bisa terjadi antara orang tua dengan anak, antara sahabat, bahkan antara hewan dengan pemiliknya? Sayangnya pengertian ciuman sudah dicampuradukkan dengan ciuman yang bersifat vulgar, hanya mengumbar hawa nafsu seperti dalam film-film Barat. Karena Yesus orang yang penuh kasih, tidak salah bila Dia mencintai saudara-saudara manusiaNya dan ditunjukkan dengan ciuman, bukan? Bahkan sekalipun ciuman maut Yudas pun diterimaNya.
Guru saya pun mengatakan bahwa orang-orang homo dan lesbian adalah orang-orang berdosa. Padahal kalau saya renungkan, terkadang mereka jadi begitu bukan karena kelainan atau dosa, tapi karena terpaksa. Saya pernah membaca sebuah artikel bersambung di tabloid yang menceritakan kehidupan para TKW di HongKong. Banyak di antara mereka yang menikah dengan sesama jenis, padahal suami dan anak-anak menunggu di kampung halaman. Lalu yang jadi pertanyaan, kok bisa?
Rupanya mereka sering merasa kecewa dengan laki-laki. Kalau berkencan dengan laki-laki berkebangsaan asing, setelah itu dipukuli atau dikuras uangnya. Sementara dengan sesama perempuan, mereka saling mengerti, tidak saling menyakiti. Lalu apakah dosa kalau mereka jadi saling jatuh cinta? Kita sendiri apakah mau berpacaran dan (nantinya) menikah dengan orang yang setiap hari memukuli dan 'merampok' hasil kerja keras kita? Kalau memang ada, mungkin memang benar cinta, terpaksa, atau hanya sekedar obsesi saja.
Kemungkinan lainnya, menurut seorang dokter, adalah karena hormon di dalam tubuh. Bisa saja fisiknya seorang perempuan, tapi karena hormon 'laki-laki'nya lebih dominan dibanding hormon 'perempuan'nya, kecenderungannya adalah jatuh cinta pada sesama perempuan, demikian juga dengan sebaliknya. Memang bisa saja sih, orang itu disuntik hormon. Tapi bukankah itu berarti melawan kodratnya, bukan sekadar sebagai Adam dan Hawa, tetapi ciptaan Tuhan yang lain yang memang diciptakan demikian adanya.
Saya lebih tidak setuju dengan kata-kata guru saya, yaitu bahwa 'yang sesama jenis tidak diperbolehkan jadi satu karena kalau perempuan tugasnya melahirkan anak, laki-laki yang membuahi si perempuan. Kalau sesama jenis, maka pasti akan jadi timpang'. Sekarang saya bertanya lagi, memangnya jumlah manusia di bumi ini sudah sedemikian langkanya kah? Kalau badak bercula dua yang dibilang begitu sih oke, tapi manusia? Kalau orang kurang mampu yang punya anak sepuluh dan tidak bisa menghidupi semua anaknya, apakah masih harus mengikuti tugasnya?
Kalau sekadar persoalan sifat, pasti satu dari pasangan tersebut harus mengalah. Bukankah pasangan yang berbeda jenis pun harus rela mengalah? Sering terjadi di antara selebritis kita, karena suami dan istri sama-sama mau kerja, lalu mereka cerai dengan alasan tidak cocok? Kalau begitu, berarti bukan masalah gender, tapi rela berkorban atau tidak, bukankah begitu?
Masalah ini, saya sadari, memang sangat kontroversial, terutama karena menyangkut agama dan Kitabnya. Akan lebih baik apabila masalah 'benar dan tidak' dipisahkan dari pengaruh buruk yang mengkotak-kotakkan suatu perbuatan. Sebuah benda yang terlihat kubus, mungkin dari sisi lain terlihat lancip atau bulat. Kalau kita mencoba melihat orang-orang yang tak kita kenal dari sisinya dan bukannya malah mencap buruk dan dosa, mungkin dunia ini akan jadi penuh cinta, tidak terbatasi peraturan yang tak masuk logika. Semua orang pasti ingin dimengerti, begitu pun mereka yang kita cap berdosa karena 'lesbian' atau 'homo'.

renungin lagi deh(ada apa dengan diri kita dan sekitar kita)

Tidak ada komentar: